Jumat, 29 Januari 2010

Keimanan Pangkal Kebahagiaan Dunia Dan Akhirat

Doa dan ampunan

Diantara doa yang kita panjatkan kepada Allah yang terdapat dalam Al Qur’an adalah : “Robbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah waqinaa adzaabannar“. Ya Robb kami berilah kepada kami kebaikan di dunia dan juga kebaikan di akhirat serta dijauhkan dari api neraka. Para mufasir klasik maupun kontemporer mencoba dan merinci apa saja hasanah fiddunnya dan apa pula hasanah fil akhirah yang terangkum dalam kalimat doa tersebut.

Secara umum para mufasir mengatakan ada 5 (lima) hal yang harus diraih untuk menciptakan hasanah fiddunyaa dan 2 hal untuk mendapatkan hasanah fil akhirah.

  1. Kafafurrizqi atau kecukupan rizqi.
    Maksudnya adalah bahwa setelah mendapatkan hasanah kebaikan, kebahagiaan dan kesuksesan kehidupan di dunia adalah cukupnya rizqi, baik itu rizqi secara individu, keluarga ataupun masyarakat di mana kita tinggal.
  2. Amaanul hayyah, merasa aman dalam menjalani kehidupan ini.
    Aman dari rasa takut, aman dari ancaman baik yang datangnya dari dalam maupun dari luar diri.
  3. Ustrotus sholehah, memiliki keluarga yang sholeh dan sholehah
    Suami yang sholeh, istri yang sholehah, anak-anak dan cucu yang sholeh dan sholehah.
  4. Afdholuu anilghoir, kita unggul dibandingkan dengan orang.
  5. Shehattulbadan, secara jasmani kita sehat.

Ini merupakan kriteria yang ditawarkan para ulama. Yang menjadi pertanyaannya adalah : Apakah kita telah mendapatkan khasanah fiddunnyaa apa belum?

Kalau kita melihat di sekeliling kita ternyata umat Islam secara jamaah masih sangat jauh. Dimana mana kita telah mendengar yang kelaparan, yang terperdayakan, yang tidak terpedulikan adalah mayoritas kaum muslimin. Kita masih juga dihantui oleh ancaman, baik itu datangnya dari dalam maupun dari luar kita. Ancaman disintegrasi walaupun itu sudah berkurang, akan tetapi ancaman terror dari luar sudah berada di tengah-tengah kita. Untuk menciptakan keluarga yang sholeh dan sholehah masih terlalu sulit dan sukar sekali, keunggulan kita baik dari sisi ekonomi, dan sosial politik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Kalau kita bisa mencari tolak ukur para olahragawan-olahragawan yang terbaik ternyata secara prosentasi dikuasai oleh di luar Islam. Artinya masyarakat Islam belum mendapat hasanah fiddunyaa secara maksimal.

Adapun hasanah fil akhiroh adalah:

  1. pendapatkan pahala dan ganjaran yang baik dari apa yang kita lakukan dalam kehidupan di dunia ini
  2. Waqinaa azabannaar, lepas dari siksa api neraka, artinya kita bisa dan berhak untuk masuk dalam surga Allah SWT.

Manusia adalah makhluk yang terbaik

Manusia makhluk yang terbaik, apakah mungkin hal itu kita raih dalam kehidupan sehari-hari. Allah SWT telah mengatakan dalam al Qur’an surat Ali Imron ayat 110 “quntum khaira ummantinn nkhrijatlinnas ta’muruuna bil ma’rufi watan hauna a’nilmunkari watu’ minuunabillah“. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah SWT.

Firman Allah SWT dalam surat Ali Imron ayat 139 yang artinya ” Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah ( pula ) , kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (demjatnya ), jika kamu orang-orang yang beriman

Dari kedua ayat 2 ini kita dapat ditarik benang merah bahwa kita bisa menjadi generasi yang terbaik dan umat yang terbaik sangat tinggi derajat disisi Allah SWT dengan syarat kita benar-benar beriman kepada Allah SWT.

Jika kita bertanya secara mudahnya kita mengatakan bahwa kita mayoritas muslim. Setiap muslim insya Allah mereka melakukan ajaran agama yang dipeluknya dan atas dasar iman kepada Allah SWT, tetapi persoalannya seberapa jauh kebenaran, keimanan itu yang kita miliki. Karena keimanan adalah persoalan Aqidah kepada Allah. Iman itu adalah sesuatu yang utuh kepada gambaran, persepsi dan pemahaman yang benar, jadi demikian banyak persepsi pemahaman yang harus kita miliki. Allah SWT mengatakan ada 6 yang biasa disebut dengan rukun iman.

Dengan persepsi yang benar iman kita akan kuat, dengan keimanan yang kuat berislam kita akan kaffah dan utuh secara paripurna dan pada akhirnya akan melahirkan kehadiran khasanah dalam kehidupan kita baik didunia maupun diakhirat. Karena persepsi atau pemahaman, terhadap suatu persoalan atau permasalahan akan melahirkan tata nilai, membentuk suatu sikap dan akhirnya melahirkan suatu tindakan yang langsung kita lakukan.

Ada nilai, ada sikap dan ada tindakan, sekedar contoh untuk mendekatkan pengertian misalnya narkoba. Kalau kita persepsikan bahwa narkoba itu bisa menghilangkan kesedihan, kesulitan, stres sampai kepada kematian, maka persepsi yang ada di otak kita akan melahirkan nilai narkoba itu baik untuk dikonsumsi dan orang akan melakukan sikap senang dan biasa saja dengan narkoba dan akhirnya dia mengkonsumsinya, karena persepsinya seperti itu pemahaman yang ia dapatkan narkoba adalah satu benda yang bisa melepaskan kita dari segala macam kesemrautan, kekacauan, dan kehancuran hidup.

Tapi jika pemahaman kita bahwa narkoba itu adalah suatu benda yang akan menghancurkan sistim kehidupan jasmani dan rohani kita maka nilainya dan siapapun yang memakainya narkoba itu tidak benar, jelek dan buruk maka sikapnya jelas tidak
akan mendekati bahkan menjauhinya dan tindakannya menghindari untuk mengkonsumsi narkoba itu.

Pemahaman dan persepsi

Sudahkah benar persepsi dan keyakinan kita akan Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari kiamat dan qo’do dan takdir? Jika persepsi kita terhadap Allah tidak benar maka akan melahirkan persepsi, sikap dan tingkah laku kita akan tidak benar juga. Jika persepsi kita tentang Allah tidak utuh maka didalam berislampun akan tidak utuh pula, karena nilainya tidak sempurna dan pada akhirnya tingkah laku kita menjadi amburadul kacau balau tidak jelas mana yang hak dan bathil.

Jika kita mengaku memeluk islam dan beriman kepada Allah dan Rasul, apakah sudah sama persepsi kita tentang iman dan islam, sebagaimana didapatkan serta dilakukan dipegang utuh oleh sahabat, para generasi serta para ta’biin pada awal-awal dahulu, karena dalam catatan sejarah secara individu mereka adalah orang-orang teladan dilingkungan masyarakat pada zaman Rasulullah, masa sahabat adalah masyarakat yang terbaik dan teladan dalam kehidupan bahkan sudah menguasai dunia ini.

Dalam pemikiran kita tidak mungkin mencapai Allah, kita mungkin tidak tahu, kita juga tidak mungkin dapat mengetahui secara benar siapa dan bagaimana Allah, karena jangankan untuk mengetahui Allah, mengetahui alam ini saja kita buntu dan untuk mengetahui kota Jakarta saja kita tidak semua dapat ketahui. Itu baru bersifat fisik, material saja, sedangkan Allah adalah dzat yang inmateri.

Jelas bahwa para ilmuan mengatakan carilah Allah, tetapi jika ada orang yang mengaku bahwa dia sudah kenal dengan Allah maka dia termasuk orang bodoh. Kita tidak akan sempurna akan tetapi kita akan berupaya dan Allah memberikan fasilitas untuk memperkenalkan dirinya agar kita tahu bagaiman Allah itu dengan cara mengetahui asmaul husna.

Al Qur’an menyatakan “Tidak ada Tuhan selain Robb. Dia memiliki nama-nama yang indah dan nama yang agung“. Pada asmaul husna itulah kita mengenal dzat Allah, sifat Allah atau kemampuan Allah, dengan pengetahuan seperti itu maka kita akan dapat melakukan persepsi tentang Allah, rukun iman serta rukun Islam. Kita mengatakan bahwa Allah itu Maha Melihat, kita tidak boleh memahami itu secara manusiawi dan akal semata karena kalau kita katakan Allah Maha Melihat, lalu kita tarik dan ambil dalam kehidupan dunia ini setiap kita melihat dengan mata tentu Allah memiliki mata. Padahal Allah SWT katakan “Laisha kamislihi syai’un” tidak ada yang sama dengan Allah sesuatu apapun.

Karena itu persepsi tentang iman dan Islam membutuhkan beberapa kajian khusus. Kita sudah diajarkan untuk berdoa dengan fiddunyaa hasanah wa fil akhiroti hasanah dan itu pasti kita dapatkan jika kita benar-benar beriman kepada Allah dan Rasulnya, kenapa kita belum dapatkan? Pertanyaan besarnya berarti dapat dijawab, iman kita belum benar.

Kenapa persepsi kita tentang iman itu belum pasti benar? Untuk itulah diperlukan kajian-kajian dan ta’lim- ta’lim secara khusus untuk menyamakan persepsi keimanan karena itulah satu-satunya modal untuk mendapatkan kebahagiaan sebagaimana wasiat iman taqwa kita menjadi kewajiban bagi kita semua untuk selalu mengingatkan kepada sesama umat Islam.

Untuk itu marilah kita perbaiki keimanan dan taqwa dengan mencari persepsi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam sejarah untuk memberikan persepsi yang benar tentang iman, Nabi membutuhkan 13 tahun untuk mengenalkan dan membina tentang keimanan kepada umat di Mekah.

Setelah keimanannya benar, jika ada kewajiban untuk melakukan sholat, kewajiban, zakat, puasa di bulan Ramadhan dan semuanya tidak ada yang menolak, bahwa orang yang beriman hanya satu kata kesepakatan yang bulat yaitu kami mendengar apa yang diperintahkan dan kami mendengar apa yang disabdakan oleh Rasulullah dan kami patuhi karena itu kita seharusnya mendahulukan kebenaran dalam bentuk Al Qur’an dan hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar